Sabtu, 21 Mei 2011

QHASASH AL-QURAN

BAB I
PENDAHULUAN
 Suatu peristiwa yang berhubungan denga sebab dan akibat dapat menarik perhatian para pendengar. Apabila dalam peristiwa itu terselip pesan-pesan dan pelajaran mengenai berita-berita bangsa terdahulu rasa ingin tahu merupakan faktor paling kuat yang dapat menanamkan kesan peristiwa tersebut ke dalam hati.
Dan nasihat dengan tutur kata yang disampaikan tanpa variasi tidak mampu menarik perhatian akal bahkan semua isinya pun tidak akan dipahami. Akan tetapi bila nasihat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang mengambarkan peristiwa dalam realita kehidupan maka akan terwujudlah dengan jelas tujuannya.
 Orang pun akan merasa senang mendengarkannya, merhatikannya dengan penuh kerinduan dan rasa ingin tahu, dan pada giliranya ia akan terpengaruh dengan nasihat dan pelajaran terkandung di dalamnya.kesustraan kisah dewa ini menjadi seni yang khas di antara seni-seni  bahasa dan kesustraan” kisah yang benar” telah membuktikan kondisi ini dalam uslub arabi secara jelas dan mengambarkanya dalam bentuk  yang paling tinggi yaitu kisah-kisah Qur'an.


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Qhasasul Quran
             Kisah berasal dari kata al-qassu yang berarti mencari atau mengikuti jejak.Dikatakan               
                      


  Artinya,’saya mengikuti atau mencari mencari jejaknya.” Kata  al- qasas adalah bentuk    masdar. Firman Allah                                        (al kahfi {18} : 64) maksudnya ,kedua orang itu kembali lagi untuk mengikuti jejak dari mana keduanya itu datang. Dan firman-Nya melalui lisan ibu musa:                             (Dan berkatalah ibu musa kepada saudaranya yang perempuan: ikutilah dia)  (al-Qasas{28]:11). Maksutnya, ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang mengambilnya.
            Qasas berarti berita yang berurutan. Firman Allah:



                                     
 (sesungguhnya ini adalah berita yang benar.) (Al Imran {3]:62 ). Dan Firma-Nya 

           
(Sengguhnya pada berita mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.)( Yusuf {12}:111).Sedang ai-qissah berarti urusan, berita, prkara, dan keadaan.
 Qasas ia-Qur’an adalah pemberitan Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-paristiwa yang telah terjadi, Qur’an banyak mengandung keterangan temtang kejadian tentang masa lalu, sejarah bangsa- bangsa, keadaan negeri- negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dangan cara yang menarik dan mempesona. 
B.   Macam-macam Kisah dalam Qur’an
1)      Kisah para nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya-mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammd dan nabi-nabi serta rasul lainnya .
2)      Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak di pastikan ke nabi-nabinya. Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Takut dan Jalut , dua orang putra Adam, penghuni gua, Zulkarnain, Karun, orang-orang yang menanggap ikan pada hari Sabtu (ashabus sabti), Maryam, Ashabul Ukhdud,Ashabul Fildan lain-lain.
3)      Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti perang Badar dan Perang Uhud dalam surah Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah at-Taubat, perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, hijrah, isra, dan lain-lain.
C.   Faedah Kisah-Kisah Qur’an
Kisah-kisah dalam Qur’an mempunyai banyak faedah. Berikut ini beberapafaedah terpenting diantaranya :
1)      Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang di bawa oleh para nabi:
“Dan kami tidak mengutus seoran rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya,bahwa tidak ada tuhan selain aku,maka sembalah olehmu sekalian akan aku.”(al-Anbiya’[21];25)
2)      Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan para rasullnya.
“Dan semua kisah rasul-rasul yang Kami teguhkan hatimu;dan dalam surah ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman,’(Hud [11];120).
3)      Membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya.
4)      Menampakkan kebenaran Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu disepanjang kurun generasi.
5)      Menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membenarkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan,dan menentang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu di ubah dan dig anti . Misalnya firman Allah:
“Semua makanan adlah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang di haramkan oleh Israil (Ya’kub) untuk dirinya sendiri sebelu Taurat diturunkan . Katakanlah: (Jika kamu mengatakan ada makanan yang di haramkan sebelum Taurat itu,lalu bacalah ia jika kamu orang-orang yang benar.”(Ali imran [3]:93).
6)       pendengar dan menantapkan pesan-pesan yang terkadung di dalamnya kedalam jiwa.Firman Allah:
“Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orangyang berakal,” (Yusuf[21]:111).
D.   Pengulangan Kisah Dan Hikmanya
            QUR’AN banyak mengandung berbagai kisah yang di unggapkan berulang-ulang di beberapa tempat.Sebuah kisah terkadang berulang kali berbeda. Di suatu tempat ada bagian-bagian yang di dahulukan ,sedang di tempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang di kemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar,dan sebagainya. Di antara hikmanya ialah:
1)      Menjelaskan ke-balagah-an Qur’an dalam tingkat paling tinggi.Sebab di antara keistimewaan balagah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda .Dan kisah yang berulang itu di kemukakan di setiap tempat dengan uslub yang berbeda satu dengan yang lain serta di tuangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membut orang merasa bosan karenanya, bahkan dapat dapat menambah kedalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan disaat membacanya di tempat yang lain.
2)      Menunjukkan kehebatan mukjizat Qur’an.Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk pun tidak dapat di tandingi oleh sastrawan Arab,merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa Qur’an itu datang dari Allah.
3)      Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian. Misalnya kisah Musa dengan Firaun. Kisah ini menggambarkan secara sempurna  pergulatan sengit antara kebenaran dengan kebatilan. Dan sekalipun kisah itu sering di ulang-ulang,tetapi pengulangannya tidak pernah terjadi dalam sebuh surah.
4)      Perbedaan tujuan yang karenanya kisah itu diunggapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya diterangkannya di satu tempat, karena hanya itulah yang di perlukan ,sedang makna-makna lainnya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan.
E.   Kisah-Kisah Dalam Qur’an adalah Kenyataan, bukan Khayalan
Adalah pantas dikemukaka disini, bahwa seorang mahasiswa di Mesir  mengajukan disertai untuk memperoleh gelar doctor dengan judul al-fannul Qasasiy fil Qur’. Disertai tersebut teklah menimbukan perdebatan panjang pada tahun 1367 H. salah seorang anggota tim penguji disertai ,Prof. Ahmad Amin, menulis nota yang di tujukan kepada dekan fakultas Adab, yang kemudian di publikasikan dalam majalah ar-Risalah. Nota itu berisi kritik pedas terhadap apa yang ditulis mahasiswa tersebut,meskipun professor promotornya  teah membelanya. Ahmad Amin dalam notanya itu mengeluarkan pernyataan berikut:
“Saya mendapatkan itu tidak wajar, bahkan sangat berbahaya. Pada prinsipnya di sertai itu menyatakan, kisah-kisah dalam Qur’an merupakan karya seni yang tunduk kepada daya ciptadan kreatifitas yang dipatuhi oleh seni, tanpa harus memegangi kebenaran sejarah. Dan kenyataan Muhammad adalah seorangseniman dalam pengertian ini.”
“Atas dasar dan persepsi inilah”,jelasnya lebih lanjut,”mahasiswa itu menulis disertasinya, dari awal sampai akhir. Saya perlu mengemukakan sejumlah contoh yang dapat memperjelas tujuan penulis di sertai tersebut dan bagaimana cara menyusunnya.” Ahmad Amin kemudian mengemukakansejumlah contoh dari disertasi itu yang membuktikan apa yang di lukiskannya dalam notasingkatnya itu. Misalnya ,persepsi penulis disertai bahwa kisah dalam Qur’an tidak memegangi kebenaran sejarah, tetapi ia sejalan dengan pemberian seorang sastrawan yang memberikan suatu peristiwa secara artistic. Contoh lainnya ialah pandangan bahwa Qur’an telah menciptakan beberapa kisah, dan bahwa ulama-ulama terdahulu telah berbuat salah dengan menganggap kisah Qur’ani sebagai sejarah yang dapat di pegangi.
Seorang Muslim sejati adalah oang yang beriman bahwa Qur’an adalah Kalamullah   dan suci dari pemerintah artistik yang tidak memprhatikan realita sejarah. Kisah Qur’ani tidak lain adalah hakikat dan fakta sejarah yang di tuangkan dalam untaian kata-kata indaj dan pilihan serta dalam uslub yang mempesona.
Nampaknya penulis disertai telah mempelajari seni-seni kisah dalam kesusatraan dan ia mendapatkan bahwa diantara unsure-unsur pokoknya ialah khayalan yang bertumpu pada konsep. Semakin tinggi unsur khayalnya dan jauh dari realita, maka kisah itu semakin diganrungi,memikat jiwa dan nikmat di baca. Kemudian dia menganalogikan kisah Qur’ani dengan sastrawi.
Qur’an tidaklah demikian halnya. Ia diturunkan dari sisi Mahapandai, Mahabijaksana. Dalam berita-berita-Nya tidak ada kecuali yang sesuai dengan kenyataan. Apabila orang-orang terhotmat di kalangan masyarakat enggan berkata dusta dan menganggapnya sebagai perbuatan hina paling buruk yang dapat merendahkan martabat kemanusiaan, maka bagaimana seoarang yang berakal dan menghubungkan kedustaan kepada kalam Yang Mahamuli dan Mahaagung?
Allha adalah  Tuhan Yang Hak :
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Dia, itulsh yang batil .”(al-Hajj [22]:62).
      Dia mengutus Rasul-Nya dengan hak pula :
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenara (hak) sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.”(Fatir [35]:24),
“Dan apa  yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Kitab (Qur’an) itulah yang benar (hak).’ (Fatir [35]:31),
“Wahai manusia, sungguh telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (mambawa) kebenaran dari Tuhanmu.” (an-Nisa’ [4]:170),
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Qur’an denga bawa kebenaran (hak),” (al-Ma’ida [5]:48), dan
“Dan Kitab yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar.” (ar-Ra’d [13];1).
Dan semua apa yang di kisahkan Allah dalam Qur’an adalah hak pula :
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya.” (al-Kahfi [81]:13) dan
“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Firaun dengan benar (hak).”(al-Qasas [28]:3).

BAB III
MANFAAT PENULISAN MAKALAH
Pengaruh Kisah-Kisah Qur’an dalam Pendidikan dan Pengajaran
Tidak diragukan lagi bahwa kisah yang baik dan cermat akan di gemari dan menembus relung jiwa manusia denga mudah. Segenap perasaan mengikuti alur kisah tersebut tanpa merasa jemu atau kesal, serta unsur-unsurnya dapat dijelajahi akal sehingga ia dapat memetik dari keindahan tamannya aneka ragam bunga dan buah-buahan.
Pelajaran yang disampaikan dengan metode talqin dam ceramah akan menimbulkan kebosanan, bahkan tidak diikuti sepenuhnya oleh generasi muda kecuali dengan sulit dan berat serta memerlukan waktu yang cukup lama pula. Oleh karena itu, maka uslub qasasi (narasi) sangat bermanfaat dan mengandung banyak faedah. Pada umumnya, anak-anak suka mendengarkan cerita-cerita, memperhatikan riwayat kisah, dan ingatannya segera menampung apa yang di riwayatkan kepadanya, kemudian ia menirukan dan mengisahkannya.
Fenomena fitrah kejiwaan ini sudah seharusnya dimanfaatkan oleh para pendidik dalam lapangan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang merupakan inti pengajaran dan soko guru pendidikan.
Dalam kisah-kisah Qur’ani terdapat lahan subur yang dapat membantu kesuksesan para pendidik dalam melaksanakan tugasnya dan membekali mereka bekal kependidikan berupa peri hidup para Nabi,berita-berita tentang umat dahulu, sunnatullah dalam kehidupan masyarakat dan hal ihwal bangsa-bangsa. Dan semua dikatakan dengan benar dan jujur. Para pendidik hendaknya mampu menyuguhkan kisah-kisah Qur’ani itun dengan uslub bahasa yang sesuai dengan tingkat nalar pelajar dalam segala tingkatan. Sejumlah kisah keagamaan yang disusun oleh Ustaz Sayid Qutub dan Ustaz as-Sahhar telah berhasil memberikan bekal bermanfaat dan berguna bagi anak-anak kita, dengan keberhasilan yang tiada bandingnya. Demikian pula al-Jarim telah menyajikan kisah-kisah Qur’ani dengan gaya sastra yang indah dan tinggi, serta lebih banyak analisis mendalam. Alangkah baiknya andaikata orang lain pun mengikuti dan meneruskan metode pendidikan baik ini.      

BAB IV
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Secara etimologi, Kisah berasal dari kata al-qassu yang berarti mencari atau mengikuti jejak. Sedangkan secara terminology Qasas ia-Qur’an adalah pemberitan Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-paristiwa yang telah terjadi, Qur’an banyak mengandung keterangan temtang kejadian tentang masa lalu, sejarah bangsa- bangsa, keadaan negeri- negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat.
2.      Kisah-kisah dalam Qur’an mempunyai banyak faedah. Berikut ini beberapafaedah terpenting diantaranya :
a)      Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syari’at yang di bawa oleh para nabi.
b)      Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan para rasullnya.
c)      Membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya.
d)     Menampakkan kebenaran Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu disepanjang kurun generasi.
e)      Menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membenarkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan,dan menentang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu di ubah dan dig anti . Misalnya firman Allah.
f)       pendengar dan menantapkan pesan-pesan yang terkadung di dalamnya kedalam jiwa.Firman Allah:
B.   Saran
Adapun saran dari penulisan makalah ini adalah hendaknya dalam penyusunan makalah menggunakan beberapa refrensi buku agar informasi yang disampaikan dalam makalah yang disusun dapat lebih lengkap dan jelas.





TAKHRIJ HADIST

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian takhrij hadis
1.        Pengertian Menurut etimologi
Menurut bahasa, kata takhrij adalah bentuk mashdar dari kata kharajja-yukharijju-takhrijun, berakar dari huruf-huruf: kha, ra, dan jim mempunyai dua makna besar, yaitu: al-nafadz ‘an al-syay (menembus sesuatu) dan ikthtilaf  lawnayn (perbedaan dua warna), tampaknya, kedua makna dasar itu digunakan secara bersama-sama dalam hadis, yakni bahwa takhrij berarti menelusuri atau berusaha  menembus suatu hadis  untuk mengetahui segi-segi yang terkait dengannya, baik dari segi sumber pengambilanny, kualitasnya, maupun dari segi yang lai. Mahmud al-Thahhan menjelaskan bahwa kata takhrij secara bahasa berarti: [1]


Artimya: “Kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah.”
Sedangkan dalam kamus al-mujid, disebutkan bahwa kata takhrijun mempunyai beberapa makna, yakni: menjelaskan (bayyana), menyatukan (abrasa, mengambil sebagian (aqsama) dan mengeluarkan sesuatu (istinbatun), dalam kamus Lisan al-‘Arab menyebutkan bahwa makna takhrijun  adalah mengeluarkan (tadribu)  dan menjelaskan dengan sesuatu (taujihu).
Dengan demikian,  kata takhrijun apabilah dihubungkan dengan hadaesyun maka tersusun menjadi sebuah istilah hadis dengan susunan idafah takhrijun al-Hadaesyu yang bermakna mengeluarkan hadis dari suatu tempat ketempat lain (dari kitab sumbernya ketempat yang lain atau pada kitab tertentu), atau menukilkan hadis pada sebuah kitab yang dikeluarkan dari kitab sumbernya. [2]
2.       Pengertian Secara Terminologi
Para ulama ahli hadis dalam hal ini mengemukakan beberapa definisi, seperti di bawah ini :
Menurut satu definisi, arti takhrij sama dengan Al-ikhraj yaitu Ibraz Al-Hadits li an-nas bidzikri mahrajih (mengumgkapkan atau mengeluarkan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan para perawi yang berada dalam rangkaian sanadnya sebagai yang mengelaurkan hadits). Misalnya dikatakan : hadza hadits akhrajahu al-bukhari atau kharrajahu al-bukhari ( hadist ini dikeluarkan oleh al-bukhari). Arti takhrij menurut definisi ini banyak dipakai oleh para ulama dalam mengutip atau menyebutkan suatu hadis.[3]
Menurut definisi berikutnya, di sebutkan bahwa kata takhrij berarti ikhraj al-ahadits min buthuni al-kutub wa riwayatuh ( mengeluarkan sejumlah hadis dari kandungan kitab-kitabnya dan meriwayatkannya kembali ). Pengertian ini diantaranya dikemukakan oleh as-sakhawi, ia menambahkan bahwa orang yang mengeluarkan hadis tersebut kemudian meriwayatkannya atas namanya sendiri atau atas nama guru-gurunya, serta menyandarkannya kepada penulis kitab yang dikutipnya.
Menurut definisi lainnya, kata takhrij berarti ad-dalalah ala mashadir al-hadits al-ashliyah wa azzuhu ilaihi ( petunjuk yang menjelaskan kepada sumber-sumber asal hadis ). Di sini dijelaskan siapa-siapa yang menjadi para perawi dan mudawwin yang menyusun hadis tersebut dalam suatu kitab.
Menurut mahmud ath-thahhan, definisi yang disebut ketiga ini yang banyak dipakai dan terkenal pada kalangan ulama ahli hadis.[4]
Berdasarkan definisi ini, ia menyabutkan pengertian takhrij sebagai berikut:


petunjuk tentang tempat atau letak hadis pada sumber aslinya, yang diriwayatkan dengan menyebutkan sanadnya, kemudian dijelaskan martabat atau kedudukannya manakala diperlukan ".
Berdasarkan definisi di atas, maka me-ntakhrij, berarti melakukan dua hal, yaitu yang pertama berusaha menemukan para penulis hadis itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanad-nya dan menunjukannya pada karya-karya mereka, seperti kata-kata akhrajahuh al-baihaqi, akhrajahu al-thabrani fi mu’jamih atau akhrajahu ahmad fi musnadih.
Penyebutan sumber-sumber hadis dalam definisi di atas, bisa dengan menyebutkan sumber utama atau kitab-kitab induknya, seperti kitab-kitab yang termasuk pada kutub as-sittah; atau sunber-sumber yang telah di olah oleh para pengarang berikutnya yang berusaha menyusun dan menggabungkan antara kitab-kitab utama tersebut, seperti kitab al-jami’baina as-shahihain oleh al-humaidi; atau sumber-sumber yang berusaha menghimpun kitab-kitab hadis dalam masalah-masalah atau pembahasan khusus, seperti masalah fiqih, tafsir atau tarikh.
Kedua, memberikan penilaian kualitas hadis apakah hadis itu sahih atau tidak. Penilaian ini dilakukan andai kata diperlukan. Artinya, bahwa penilaian kualitas suatu hadis dalam men-takhrij tidak selalu harus dilakukan. Kegaitan ini hanya melengkapi kegiatan takhrij tersebut sebab, dengan diketahui dari mana hadis itu diperoleh sepintas dapat dilihat sejauh mana kaulitasnya.
B.   Tujuan Dan Kegunaan Men-Takhrij Hadis
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang perlu dipelajari dan dikuasai. Sebab di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui dari mana sumber hadis itu berasal. Selain itu, di dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis.
Tujuan pokok men-tahrij hadis adalah untuk mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij. Tujuan lainnya, untuk mengetahui keadaan hadis tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan mardud-nya.[5]
Sedang kegunaan takhrij ini, antara lain :
1.      Dapat mengetahui keadaan hadis sebagai mana yang dikehendaki atau yang ingin di capai pada tujuan pokok di atas;
2.      Dapat mengetahui keadaan sanad hadis dan silsilahnya berapapun banyaknya, apakah sanad-sanad itu bersambung atau tidak;
3.      Dapat meningkatkan kualitas suatu hadis dari Dha’if menjadi Hasan, karena ditemukannya Syahid atau Mu’tabi;
4.      Dapat mengetahui bagaimana pandangan para ulama terhadap keshahihan suatu hadis;
5.      Dapat membedakan mana para perawi yang ditinggalkan atau yang dipakai;
6.      Dapat menetapkan sesuatu hadis yang dipandang Mubham menjadi tidak Mubham karena ditemukannya beberapa jalan Sanad, atau sebaliknya;
7.      Dapat menetapkan Muttashil kepada hadis yang diriwayatkan dengan menggunakan Adat At-Tahammul Wa Al-a-da’ (kata-kata yang dipakai dalam penerimaan dan periayatan hadis) dengan an’anah (kata-kata an/dari);
8.      Dapat memastikan identitas para perawi, baik berkaitan dengan kun-yah (julukan), laqab (gelar), atau nasab (keturunan), dengan nama yang jelas.

C.   Sepintas Tentang Sejarah Takhrij
Kegiatan men-takhrij hadis muncul dan diperlukan pada masa ulama Mutaakhirin. Sedang sebelumnya, hala ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan. Kebiasaan ulama Mutaqaddimin menurut Al Iraqi, dalam mengutip hadis-hadisnya tidak pernah membicarakan dan menjelaskan darimana hadis itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas hadis-hadis tersebut, sampai kemudian datang An-nawawi yang melakukan hal itu.
Ulama yang pertama kali melakukan takhrij menurut Mahmud Ath-thahhan ini, ialah Al-khatib Al-bagdadi (463 H). kemidian dilakukan pula oleh Muhammad bin musa al-hazimi (W.584 H) dengan karyanya Takhrij Ahadits Al-Muhadzdzab. Ia mentakhrij kitab fiqih syafi’iyah karya Abu Ishaq Asy-Syirazi. Ada juga ulama lainnya, seperti Abu Al-Qasim Al-Husaini dan Abu Al-Qasim Al-Mahrawani. Karya kedua ulama ini hanya berupa Mahthuthah (manuskrip) saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup banyak bermunculan kitab-kitab tersebut yang berupaya men-takhrij kitab-kiatab dalam berbagai disiplin ilmu agama.[6]
Yang termasyhur di antara kitab-kitab tersebut, selain karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi di atas, ialah:
1.      kitab takhrij Ahadts Al-Mukhtashar Al-Kabir karya Muhammad bin Ahmad Abd Al-Hadi Al-Maqdisi (w. 744 H).
2.      Nashb ar-rayah li ahadits al-hidayah dan takhrij ahadits al-kasysyaf, keduanya karya Abdullah bin yusuf Al-Zaila’I (w. 762 H).
3.      Al-Badr Al-Munir fi Takhrij Al-Ahadits wa Al-Atsaral-Waqi’ah fi Syarh Al-Kabir karya Ibn Al-Mulaqqin (w. 804 H).
4.      Al-mughni’an Hamli Al-Asfar fi Al-Asfar fi Takhriji ma fi Al-Ihya’ min Al-Akhbar, karya Abdurahman  bin Al-Husaini AL-‘Iraqi (w. 806 H).
5.      Takhrij Al-Ahadits allati Yusyiiru Iliahi At-Tirmidzi fi kuli Bab, karya Al-Hafizh Al-‘Iraqi.
6.      At-Talkhsih Al-Habir fi Takhrij Ahaditsi Syarh Al-Wajiz Al-Kabirli Ar-Rafi’I, karya Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani (w. 852 H).
7.      Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar.
8.      Tuhfatu Ar-Rawi fi Takhrij Ahaditsi Al-Baidhawi, karya Abdurauf Ali Al-Manawi (w. 1031).
D.   Kitab-Kitab yang Diperlukan dalam Mentakhrij Hadits
Dalam melakukan takhrij hadis, kita memerlukan kitab-kitab yang berkaitan dengan takhrij hadis ini. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain sebagai berikut:[7]
1.      Hidayatul bari ila tartibi Ahadisil Bukhari
Penyusun kitab ini adalah  Abdur Rahman Ambar Al-Misri At-Tahtawi. Kitab ini disusun untuk mencari hadis-hadis yang termuat dalam Shahih Al-Bukhari. Lafazh hadis disusun menurut aturan urutan huruf abjad Arab. Namun, hadis-hadis yang dikemukakan secara berulang dalam Shahih Bukhari tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas. Dengan demikian, perbedaan lafazh dalam hadis riwayat Al-Bukhari tidak dapat diketahui melalui kamus tersebut.
2.      Mu’jam Al-Fadzi wala Siyyama Al-Gariibu Minha atau Fuhris litartibi Ahadisi Shahihi Muslim
Kitab tersebut merupakan sala satu juz, yakni juz ke-5 dari kitab Shahih Muslim yang disunting oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz ke-5 ini merupakan kamus terhadap juz ke-1-4 yakni berisi:
a.       Daftar urutan judul kitab, nomor hadis, dan juz yang memuatnya.
b.      Daftar nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang termuat dalam Sahih Muslim.
c.       Dafatr awal matan hadis dalam bentuk sabda yang tersususn menurut abjad serta menerangkan nomor-nomor hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari bila kebetulan hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari.
3.      Miftahus Sahihain
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa Al-Tauqiah. Kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh muslim. Akan tetapi, hadis-hadis yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadis-hadis yang berupa sabda (qauliyah) saja. Hadis tesebut disusun menurut abjad dari awal lafazh matan hadis.
4.      Al-Bugyatu fi Tartibi Ahaditsi Al-Hilayah
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Azizi bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq Al-Qammari. Kitab hadis tersebut memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab yang disusun Abu Nuaim Al-Asabuni (w. 430 H) yang berjudul Hilyatul Auliyah wathabaqatul Asfiyai.
Sejenis dengan kitab tersebut adalah kitab Miftahut Tartibi li Ahaditsi Tarikhil Khatib yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid As-Siddiq Al-Qammari yang memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad Al-Bagdadi yang dikenal dengan Al-Khatib Al-Bagdadi (w. 463 H). Kitabnya diberi judul  Tarikhu Bagdadi yang terdiri atas 4 jilid.
5.      Al-Jami’us Shagir
Kitab ini disusun oleh Imam Jaluddin Abdurahman As-Suyuthi (w. 91 H). Kitab kamus hadis ini memuat hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadis yang disusun oleh As-Suyuthi juga, yakni kitab Jam’ul Jawami’i.
Hadis yang dimuat dalam kitab Jamius Shagir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal lafazh matan hadis. Sebagian dari hadis-hadis itu ada yang ditulis secara lengkap dan ada pula yang ditulis sebagian –sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup.
Kitab hadis tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan dan nama-nama mukharij-nya (periwayat hadis yang menghimpun hadis dalam kitabnya). Selain itu juga, hamper setiap hadis yang dikutip dijelaskan kualitanya menurut penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh As-Suyuthi.
6.      Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzil Hadis Nabawi
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Di antara anggota tim yang paling aktif dalam proses penyusunan adalah Dr. Arnold John Wensick (w. 939 M), seorang professor bahasa-bahasa Semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negeri Belanda.
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadis berdasarkan petunjuk lafazh matan hadis. Berbagai lafazh yang disajikan tidak dibatasi hanya lafazh-lafazh yang berada di tengah dan bagian-bagian lain dari matan hadis. Dengan demikian, kitab Mu’jam mampu memberikan informasi kepad pencari matan dan sanad hadis selama sebagian dari lafazh matan yang dicarinya itu telah diketahuinya.[8]
Kitab mu’jam ini terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari hadis-hadis yang terdapat dalam Sembilan kitab hadis, yakni Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan TIrmidzi, Sunan Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darimi, Muwatta Malik, dan Musnad Ahmad.

E.   Cara Mentakhrij Hadis
Untuk melakukan langkah mentakhrij hadis diperlukan beberapa metode sebagai acuan yang digunakan dalam penelitian hadis, seperti yang dikemukakan oleh ulama hadis, diantaranya Abu Muhammad ‘Abd al-Hadi bin ‘Abd al –Qadir bin ‘Abd Al-Hadi, dia menyebutkan bahwa ada lima macam bentuk metode takhrij:[9]
1.      Takhrij menurut lafal pertama hadis;
2.      Takhrij menurut lafa-lafal yang terdapat pada hadis;
3.      Takhrij menurut periwayat terakhir;
4.      Takhrij menurut tema hadis;
5.      Takhrij menurut klasifikasi jenis hadis;
Sedangkan M. Syuhudu Ismail dalam bukunya “Metodologi Penelitian Hadis Nabi saw.”  Menyebutkan secara sederhana yang berbeda dengan pandangan ulama lainnya, dia hanya membagi atas dua jenis metode takhrij, yakni:[10]
1.      Takhrij bi alfaz adalah takhrij yang dilakukan unutk menelusuri atau mencari hadis-hadis berdasarkan petunjuk lafal yang terdapat pada hadis itu sendiri, baik dengan menggunakan lafal pertama maupun lafal-lafal lain yang terdapat pada hadis itu.
2.      Takhrij bi al-mawdu adalah penelusuran terhadap hadis berdasarkan tema atau topik masalah yang menjadi objek utama dari hadis tersebut.
Berbeda dengan Mahmud al-Tahhan, dia juga menyebutkan bahwa ada lima cara atau metode mentakhrijkan hadis, tetapi berbeda jenisnya, yakni:[11]
1.      Melalui pengenalan nama sahabat perawi hadis
2.      Melalui pengenalan awal lafaz atau matan suatu hadis
3.      Melalui pengenalan kata-kata yang tidak banyak beredar atau dikenal dalam pembicaraan, tetapi merupakan bagian dari matan hadis (letak kata-kata tersebut bisa dimana saja, di awal, di tengah atau di akhir matan
4.      Melalui pengenalan topik yang terkandung dalam matan hadis
5.       Melalui pengamatan tertentu terhadap apa yang terdapat dalam suatu hadis, baik matan atau sanadnya.
1.      Mentakhrij Melalui Pengenalan Nama Sahabat Perawi
Cara men-takhrij seperti ini hanya bisa dilakukan apabila telah diketahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut. Apabila nama sahabat diketahui maka pentakhrij –an dapat dilakukan dengan bantuan tiga macam kitab hadis, yaitu al-masanid (kitab musnad), al-ma’ajim (kitab-kitab mu’jam), dan kutub al-athraf.
a.       Al-Masanid (kitab-kitab musnad)
Al-masanid adalah jamak dari al-musnad yaitu semacam kitab yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Susunan nama-nama sahabat dalam kitab-kitab musnad tidaklah sama ada yang disusun secara alfabetis,dan ada yang disusun berdasarkan kelompok urutan waktu masuk islam atau keutamaan sahabat, di samping ada pula yang disusun berdasarkan keutamaan kabilah atau kota.
Hasil karya berupa kitab musnad ini cukup banyak. Ath-thahhan menyebutkan sebanyak sepuluh kitab yang diantaranya ialah musnad karya ahmad bin hanbal, musnad karya abu bakr Abdullah bin az-zubair al-humaidi, dan musnad karya abu daud sulaiman bin daud ath-thayalisi. Dari kitab-kitab yang disebutkannya dua di antaranya dibicarakan ath-thahhan lebih lanjut yaitu musnad ahmad bin hanbal dan musnad abu bakr al-humaidi.
b.      Al-Ma’ajim (kitab-kitab Al-Mu’jam)
Al-ma’ajim atau kitab-kitab Al-Mu’jam menurut istilah ulama ahli hadis adalah kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan musnad sahabat, guru (suyukh), atau negeri-negeri tertentu. Diantara kitab Mu’jam yang terkenal ialah al-Mu’jam al-Kabi’r oleh abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani (w. 360 H) yang memuat sekitar 60,000 buah hadis. Selain itu, al-Mu’jam al-Ausath, yang berisi sekitar 30,000 buah hadis, dengan nama guru-gurunya sebanayak 2000 orang, al-Mu’jam as-Shagir, yang memuat 1000 buah hadis, dan al-Mu’jam Ash-Shahabah karya Abu Ya’la Ahmad bin Ali al-Maushuli (w.307 H).
c.        Kitab-Kitab Al-Athraf
Kata al-athraf jamak dari ath-tharf (sisi atau bagian). Maka kata tharf al-hadits, berarti bagian dari matan yang menunjukan sisanya. Seperti kata kullukum ra’in, atau kata bunia al-islam ‘ala khamsin. Kalimat yang pertama merupakan bagian atau potongan dari hadis yang menjelaskan tentang kepemimpinan seseorang, seorang imam, atau seorang wanita. Kalimat yang kedua, merupakan potongan dari hadis tentang dasar-dasar islam.
Pada kitab-kitab seperti ini, penyusun menyebutkan sebagian dari matan hadis dengan menyebutkan sanad-nya, baik secara lengkap atau tidak. Kitab-kitab athraf pada umumnya disusun berdasarkan nama-nama sahabat secara alfabetis, di samping ada juga yang menyusunnya berdasarkan urutan alfabetis berdasarkan kata-kata awal dari matan hadisnya.
Di antara kitab-kitab athraf ialah:
·         Athraf as-shahihain karya abu mas’ud ibrahim bin Muhammad ad-dimasqi (w. 401 H).
·         Al-asyraf ‘ala ma’rifat al-athraf karya ibn ‘Asakir (w. 571 H)
·         Tuhfah al-Asyraf bi ‘Ma’rifat al-Athraf karya abu al-Hajjaj Yusuf Adurrahman al-Mizzi (w.742 H).
·         Dzakhair Mawarits fi ad-Dalalah ‘ala Mawadhi’I al-hadits karya Abd al-Mugni an-Nablusi (1050-1143).
Pada kitab-kitab yang terakhir ini menjadikan kutub as-sittah (dua kitab al-jami ‘ash-shahih dan empat kitab as-sunan) dan al-muwaththa’ sebagai sumbernya.
2.      Men-Takhrij Melalui Pengenalan Awal Lafazh Pada Matan
Dengan mengenal awal matan suatu hadis, maka hadis dapat di takhrij dengan menggunakan bantuan beberapa kitab hadis yang dapat menunjuk kepada sumber utamanya. Kitab-kitab dimaksud, ialah kitab-kitab yang memuat tentang hadis-hadis yang terkenal (al-musytaharah)nya disusun secara alfabetis,dan kitab-kitab kunci serta daftar isi kitab-kitab hadis tesebut.
a.      Kitab-Kitab Yang Memuat Hadis-Hadis Yang Banyak Dikenal Orang
yang dimaksud dengan hadis-hadis yang banyak dikenal orang atau al-musytaharah dalam pembicaraan orang banyak, ialah hadis-hadis yang banyak beredar di masyarakat. Hadis-hadis tersebut adakalanya shahih, hasan,atau dha’if, bahkan Maudhu. Untuk itu, para ulama telah menyusun kitab-kitab penunjuk yang menunjukan hadis-hadis yang beredar kepada sumber asalnya. Dengan demikian,akan menjadi jelas nama yang harus menjadi pegangan umat dan mana yang harus ditinggalkan. Kitab-kitab seperti ini banyak disusun oleh para ulama antara abad 10 sampai 13 hijriah. Di antara kitab-kitab tersebut adalah:
·         At-Tadzkirah fi al-Ahadits al-Musytaharah, karya Badr ad-Din Muhammad bin Abdullah az-Zarkyasi (w. 974 H);
·          Ad-Durar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytaharah, karya as-suyuti (w. 911 H).
·         Al-Maqashid al-Hasanah fi Bayan Katsir min al-Ahadits al-musyhurah ‘ala al-Alsinah, karya Muhammad bin Abdurrahman as-sakhawi (w.902 H); dan
·         Tashil as-Sabil ila Kasyf al-Iltibas ‘amma dara min al-Ahadits baina an-Nas, karya Muhammad bin Ahmad al-Khalili (w. 1057 H).
b.      Kitab Hadis Yang Matan-nya Disusun Secara Alfabetis
Kitab yang demikian berisi hadis-hadis yang diambil dari beberapa kitab dan disusun secara alfabetis, dengan membuang sanadnya. Akan tetapi ditunjukan juga sunber utamanya, yang memuat sanad-sanadnya secara lengkap. Pada kitab-kitab ini identitas sanad hanya dalam wujud huruf-huruf singkatan. Untuk lebih memudahkan dalam mempergunakan kitab-kitab ini, harus diketahui lebih dahulu awal matan dari hadis-hadisnya. Sebab, penyusunan hadis dilakukan berdasarkan huruf pada awal matannya.
Di antara kitab-kitab yang termasuk kelompok ini, ialah al-ja’mi ash-Shagir min Hadits al-Basyir an-Nadzir dan al-jami ‘al-kabir, yang keduanya karya as-Suyuthi. Kitab hadis yang disebut pertama meuat sekitar 10.031 buah Hadis, yang dinukil dari kitab karyanya sendiri, Jam’u al-Jawami.
c.        Kitab-Kitab Kunci dan Daftar Isi Kitab Hadis Tertentu
di antara para ulama, khususnya ulama mutaakhirin, ada juga yang berusaha membuat kitab kunci (al-miftah) dan kitab yang memuat daftar isi (al-fihris). Di antara kitab tersebut ialah miftah ash-shahihain karya Muhammad as-syarif bin Musthafa at-Tauqidi (1312 H). Sistem penyusunannya secara alfabetis, yakni potongan hadis dari shahih al-Bukhari dan Muslim disusun dan diberi keterangan sperlunya saja tentang isi kitab/bab, nomor urut bab, jilid, dan halamannya.
3.      Men-takhrij melalui Pengenalan Kata-kata yang tidak banyak Beredar dalam Pembicaraan
Untuk bagian ini, alat yang dipakai ialah al-mu’jam al-mufahras li alfazh al-hadits an-nabawi oleh A.J. Wensink, yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh Muhammad fuad Abd al-baqi. Kitab ini disusun dengan merujuk kepada sembilan kitab hadis induk, yaitu dua kitab al-jami ‘ash-shahih, empat kitab as-sunan, al-muwaththa’ Malik bin Anas, musnad Ahmad bin Hanbal, dan musnad ad-darimi.
4.      Men-Takhrij Melalui Pengenalan Topic yang Terkandung Dalam Matan Hadis
Cara mentakhrij melalui pengenalan topic ini dapat dipakai oleh mereka yang banyak mengasai matan hadis dan kandungannya. Terdapat banyak kitab yang mentakhrij hadis dengan cara ini, yang pada garis besarnya terdapat pada tiga bagian
Ø  akitab-kitab yang memuat selurh bab dan topic ilmu agama. Kitab seperti ini banyak sekali, di antaranya kitab al-jawami, al-mustakhrajah, al-mustadrakah ‘ala al-jawami’, al-majami’, az-zawaid, dan miftah kunuz as-sunnah.
Ø  Kitab-kitab yang memuat banyak bab atau topic, akan tetapi tidak mencakup seluruh bab secara lengkap, seperti kitab-kitab as-sunan al-muwaththa’ah, dan al-mustakhrajah ‘ala as-sunan.
Ø  kitab-kitab yang hanya membahas bab atau topic-topik khusus, seperti kitab at-tarhib, at-targip, al-akhlak, dan al-ahkam.
Kitab miftah kunuz as-sunnah yang disusun oleh Muhammad fuad Abd al-baqi merujuk kepada 14 kitab, yaitu : shahih al-bukhari, shahih muslim, sunan abu daud., jami’at-turmudzi, sunan an-nasa’I, sunan Ibn Majah, sunan Ibn Malik, musnad Ahmad, musnad Abu Daud ath-thayalisi, sunan ad-Darimi, musnad Zaid bin Ali, sirah Ibn hisyam, Magazi al-waqidi, dan thabaqah Ibn Sa’ad.

5.      Mentakhrij Melalui Pengamatan Terhadap Ciri-ciri Tertentu pada Matan atau Sanad
Dengan mengenal ciri-ciri tertentu pada suatu hadis dapat menemukan dari mana hadis itu terdapat. Ciri-ciri dimaksud seperti cirri-ciri maudhu’, cirri-ciri hadits qudsi, ciri-ciri dalam periwayatan dengan silsilah sanad tertentu, serta cirri-ciri yang lain.
Suatu contoh, jika diketahui ada matan hadis yang janggal (syadz), maka hadis tersebut dapat dilihat lebih lanjut pada kumpulan hadis-hadis yang dha’if atau maudhu’, seperti kitab al-maudhu’ah al-kubra’, begitu juga jika diketahui pada hadis tersebut ada cirri-ciri hadis qudsi, dapat dilihat lebih lanjut pada kitab-kitab, seperti pada misykah al-anwar fi’ma’ruwiya’an illahi subhanahu wa ta’ala min al-akhbar. Begitu juga halnya dengan cirri-ciri yang ditemukan pada sanadnya.




















BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Takhrij adalah mengumgkapkan atau mengeluarkan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan para perawi yang berada dalam rangkaian sanadnya sebagai yang mengelaurkan hadits). Misalnya dikatakan : hadza hadits akhrajahu al-bukhari atau kharrajahu al-bukhari ( hadist ini dikeluarkan oleh al-bukhari. Me-ntakhrij, berarti melakukan dua hal, yaitu yang pertama berusaha menemukan para penulis hadis itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanad-nya dan menunjukannya pada karya-karya mereka, seperti kata-kata akhrajahuh al-baihaqi, akhrajahu al-thabrani fi mu’jamih atau akhrajahu ahmad fi musnadih.
Ada beberapa manfaat dari takhrijul hadis antara lain sebagai berikut :
1.      memberikan informasi bahwa suatu hadis termasuk hadis shahih, hasan, ataupun dha’if, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya;
2.      memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadis adalah hadis makbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadis adalah mardud (tertolak)
3.      menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari rasulullah SAW. Yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut,baik dan segi sanad maupun matan.
B.   Saran
Adapun saran dari penulisan makalah ini adalah dalam mentakhrij hadis semoga menggunakan kitab-kitab yang sahih dan jelas sumber-seumber hukumnya.


DAFTAR PUSTAKA
 Agus Solahuddin, Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Ahmad, Arifuddin. 2005. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Ciputat: MSCC
Asse, Ambo. 2010. Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi Saw. Makassar: Dar al-Hikmah wa al-Ulum Alauddin Pers.
Hasbi, Ash-Shiddieqy. 1993. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Yogyakarta: Bulan Bintang.






[1]Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis, (Ciputat: MSCC, 2005) hlm. 66
[2] Ambo Asse, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi Saw, (Makassar: Dar al- Hikmah Wal al-Ulum Alauddin Press) hlm. 166
[3] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis, (Ciputat: MSCC, 2005) hlm. 67
[4] Agus Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hlm. 189
[5] Agus Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hlm. 191
[6] Agus Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hlm. 192
[7]Agus Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hlm. 194
[8] Agus Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hlm. 195
[9]Ambo Asse, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi Saw, (Makassar: Dar al- Hikmah Wal al-Ulum Alauddin Press) hlm. 168
[10] Ambo Asse, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi Saw, (Makassar: Dar al- Hikmah Wal al-Ulum Alauddin Press) hlm. 170
[11] Ambo Asse, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi Saw, (Makassar: Dar al- Hikmah Wal al-Ulum Alauddin Press) hlm. 169